Tradisi Menjual Istri: Tradisi Aneh yang Pernah Terjadi di Inggris

Ilustrasi Tradisi Menjual Istri

Tahukah kamu bahwa di Inggris pada abad ke-17, seorang suami bisa menjual istrinya di pasar layaknya seekor hewan ternak? Meski terdengar seperti lelucon atau kisah fiksi yang kelam, praktik menjual istri (wife selling) ini benar-benar pernah terjadi dan cukup umum di kalangan masyarakat kelas bawah di Inggris. Tapi apakah ini sah secara hukum? Dan bagaimana masyarakat bisa menerima hal semacam ini?

Latar Belakang Sejarah

Pada abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19, perceraian di Inggris adalah sesuatu yang sangat sulit, mahal, dan hanya bisa diakses oleh kaum elit. Perceraian formal membutuhkan persetujuan dari Parlemen Inggris, yang biayanya bisa mencapai ribuan pound sterling — jumlah yang tak terjangkau bagi kebanyakan rakyat. Dalam situasi ini, masyarakat kelas pekerja menemukan cara alternatif untuk mengakhiri pernikahan: dengan menjual istri secara simbolik di tempat umum seperti pasar.

Bagaimana Prosesnya?

Proses penjualan istri biasanya dilakukan secara terbuka, bahkan seolah menjadi tontonan publik. Suami akan membawa istrinya ke pasar atau tempat umum lainnya, sering kali dengan halter (tali kekang) di leher, lengan, atau pinggang, mirip seperti cara memimpin hewan ternak. Setelah itu, dia akan mengumumkan "penjualan" istrinya kepada khalayak.

Penawar tertinggi — yang kadang adalah kekasih sang istri — akan "membeli" perempuan tersebut. Harga bisa berupa uang, minuman keras, atau bahkan barter. Meskipun terdengar kejam, dalam banyak kasus, transaksi ini sudah disepakati sebelumnya oleh semua pihak, termasuk istri itu sendiri, yang ingin keluar dari pernikahan yang tak bahagia.

Apakah Legal Secara Hukum?

Secara hukum formal, penjualan istri tidak pernah dianggap sah di Inggris. Namun, hukum sering kali memilih untuk "menutup mata" jika praktik ini tidak menimbulkan konflik atau kekerasan. Dalam beberapa kasus, bahkan pejabat lokal atau petugas pasar akan mencatat transaksi ini, walau tidak punya kekuatan hukum apa pun.

Pada kenyataannya, ini adalah bentuk de facto divorce yang diakui oleh komunitas lokal — bukan oleh sistem hukum nasional. Dalam beberapa catatan, perempuan yang "dijual" akan hidup dengan pria baru sebagai pasangan, meskipun secara hukum dia masih istri dari suami lamanya.

Respons Masyarakat dan Norma Sosial

Reaksi masyarakat terhadap praktik ini sangat beragam. Di kalangan kelas pekerja, terutama di pedesaan, tradisi ini diterima sebagai solusi praktis untuk masalah pernikahan yang tak bisa diselesaikan lewat jalur hukum. Namun di kalangan elit dan pemuka agama, ini dianggap memalukan dan bertentangan dengan nilai-nilai moral.

Menariknya, beberapa perempuan justru mendorong praktik ini demi bisa hidup bersama pria yang mereka cintai. Dalam kasus seperti ini, penjualan istri menjadi semacam "jalan keluar sosial" dari pernikahan yang tidak diinginkan.

Salah satu contoh paling terkenal berasal dari novel The Mayor of Casterbridge karya Thomas Hardy (1886), di mana karakter utama, Michael Henchard, menjual istrinya saat mabuk dalam sebuah pasar. Meski fiksi, cerita ini berdasarkan praktik nyata yang pernah terjadi di Inggris.

Ada pula laporan nyata di Sheffield tahun 1832, di mana seorang pria "menjual" istrinya seharga satu shilling dan segelas bir. Surat kabar era Victoria banyak memuat kisah serupa, kadang dengan nada sensasional, kadang sebagai berita kriminal.

Kapan dan Kenapa Tradisi Ini Berakhir?

Praktik wife selling mulai menghilang pada paruh kedua abad ke-19, terutama setelah diberlakukannya Matrimonial Causes Act 1857. Undang-undang ini memungkinkan perceraian dilakukan lewat pengadilan sipil dengan biaya lebih terjangkau, sehingga rakyat biasa akhirnya punya akses legal untuk mengakhiri pernikahan.

Selain itu, perubahan nilai moral, tekanan dari gereja, dan berkembangnya pendidikan masyarakat membuat praktik ini makin dianggap tidak pantas dan merendahkan martabat perempuan.

Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Praktik Ini?

Praktik menjual istri di Inggris adalah contoh ekstrem dari bagaimana sistem hukum yang tidak adil mendorong masyarakat untuk mencari solusi alternatif. Ini juga menunjukkan betapa terbatasnya hak perempuan dalam sistem patriarkal di masa lalu — di mana mereka bisa diperlakukan layaknya barang dagangan.

Dari perspektif modern, tradisi ini mengajarkan pentingnya akses terhadap keadilan yang setara, serta perlunya sistem hukum yang mampu menjawab kebutuhan semua lapisan masyarakat, bukan hanya kaum elite.

Penutup

Meski kini terdengar seperti kisah dari dunia yang sangat jauh, tradisi menjual istri di Inggris adalah bagian nyata dari sejarah sosial yang kompleks. Ia adalah cermin dari ketimpangan hukum dan sosial yang pernah terjadi, dan juga pengingat bahwa keadilan tidak selalu hadir dalam bentuk resmi. Mungkin, di masa lalu, menjual istri adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan kebebasan. Tapi hari ini, kita bisa melihatnya sebagai peringatan: bahwa hak, martabat, dan keadilan harus dijamin untuk semua — tak peduli kelas sosial atau gendernya.

Komentar